PUASA BUDDHIS
Definisi Puasa Buddhis
Kata “puasa” sebagai laku bajik yang sangat populer di Indonesia dan digunakan di seluruh masyarakat dari latar belakang berbagai agama, kata ini dicerap kedalam kamus besar bahasa Indonesia dari kata “upavāsa” yang berasal dari bahasa Sanskerta dan juga bahasa Pali. Di Indonesia tentu lebih dekat pengaruh dari bahasa Sanskerta, mengingat bahwa bahasa Sanskerta merupakan bahasa yang digunakan dimasa kejayaanagama Buddha di Indonesia pada masanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kata puasa yang berasal dari kata upavāsa sangat dipengaruhi oleh Ajaran Buddha. Sehingga semestinya kata puasa sangat lazim untuk digunakan oleh umat Buddha di Indonesia. Sekarang kita pahami lebih jauh arti kata upavāsa. Secara etimologi kata upavāsa berasal dari dua kata, yakni upa artinya dekat dan vāsa berdiam, dekat dengan siapa? Tentunya di sini kata dekat artinya dekat dengan Ajaran Buddha. Maka upavāsa memiliki arti berdiam dekat dan hidup dengan Ajaran Buddha. Bagaimana seorang buddhis berdiam dekat dan hidup dengan Ajaran Buddha, salah satunya yakni mempraktikan puasa buddhis.
Puasa buddhis adalah praktik pengendalian diri yang dilakukan pada hari uposatha dengan menjalankan delapan moralitas sebagai latihan. Hal ini sebagaimana yang telah Buddha sampaikan kepada upasaka Dhammika, bahwa dengan taat sejak pagi menjalankan hari uposatha (Sn.402), demikianlah definisi puas buddhis.
Motivasi Dan Tujuan Puasa
Kehendak menjadi salah satu bentuk pikiran penting dalam mendorong adanya perbuatan (A.iii.45). Demikian dalam melakukan puasa sebagai laku spiritual harus memiliki kehendak yang tepat sebagai motivasi dan tujuan dalam mempraktikkan puasa. Motivasi puasa di sini merupakan kehendak yang menyababkan seseorang mempraktikan dan mencapai tujuan puasa. Maka kita harus memahami dengan baik mengenai motivasi dan tujuan puasa.
Motivasi puasa adalah keinginan mempraktikkan delapan moralitas sebagai latihan di hari uposatha (Sn.402). Motivasi ini ditumbuhkan dalam batin sebagai tujuan mempraktikan puasa, yakni mengendalikan dua pintu karma, berupa tubuh dan mulut. Lebih lanjut pengendalian lima pintu indria.
Pengendalian pintu karma tubuh dilakukan dengan mempraktikan latihan berupa; (1) menghindari pembunuhan, (2) menghindari pencurian, (3) menghindari perilaku seksual apa pun, (4) menghindari minuman yang memabukkan, (5) menghindari aktifitas menari, (6) bermain musik, melihat hiburan yang tidak pantas, penggunaan perhisaan, kosmetik, wewangian, (7) tempat duduk dan tidur yang tinggi serta mewah.
Sedangkan pengendalian pintu karma mulut dilakukan dengan mempraktikan latihan berupa (8) menghindari ucapan salah, yakni berbohong, memfitnah, berkata kasar, dan menggosip. Selain itu, juga berkenaan dengan tidak makan setelah tengah hari dan melakukan aktifitas menyanyi menjadi bagian latihan pengendalian dalam pintu karma mulut. Semua praktik latihan ini terdapat dalam delapan latihan moralitas sebagai praktik latihan untuk menjalankan puasa.
Tiga Latihan Moralitas Perumahtangga
Dalam pembahasan ini, latihan moralitas puasa buddhis lebih khusus untuk umat Buddha perumahtangga. Praktik moralitas perumahtangga berbeda dengan praktik moralitas para biku dan bikuni yang meninggalkan kehidupan berumahtangga.
Sebelum jauh membahasa mengenai moralitas perumahtangga kita pahami terlebih dahulu mengenai moralitas dan fungsi, dan penyebab kemunculannya. Para guru telah dengan tepat bagaimana mendefinisikan moralitas sehingga kita dengan mudah memahaminya.
Moralitas adalah kehendak batin untuk menghindari perbuatan jahat (Vism.6). Seperti lima moralitas yang menjadi latihan wajib bagi umat Buddha, yakni menghindari pembunuhan, pencurian, perilaku seksual yang salah, ucapan salah, dan minuman yang memabukkan. Lebih luas lagi moralitas kita pahami dalam bentuk perilaku melaksanakan tugas dan kewajiban kepada orang yang lebih tua, guru, orang tua, pasangan, anak, saudara, dan sahabat. Atau kita pahami sebagai kehendak tidak faktor batin, yakni melakukan ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar.
Agar moralitas dapat menjadi kehendak batin yang kuat, kita harus memahami juga mengenai fungsi dan penyebab moralitas. Fungsi moralitas adalah menghentikan perilaku salah melalui tubuh dan ucapan untuk mencapai kualitas tanpa cela. Sedangkan penyebab munculnya moralitas dalam batin adalah sadar terhadap bahaya dan munculnya perasaan malu terhadap perilaku salah. Dua hal yang menjadi sebab ini, akan menjadi kehendak batin apa bila seseorang memiliki cukup pengetahuan sebagai dasar keyakinan terhadap moralitas.
Moralitas sebagai latihan bajik umat Buddha, khususnya perumahtangga tidak sebatas pada lima moralitas sebagai latihan, namun karena welas-asih Buddha kepada perumahtangga dan upaya meningkatkan kualitas bajik diberikan tambahan latihan moralitas dihari-hari tertentu. Maka ada tiga jenis moralitas sebagai latihan umat perumahtangga, yakni pertama lima latihan merupakan moralitas yang dipraktikan dengan perhatian-penuh secara tetap, kedua sepuluh latihan jika mampu, dan ketiga delapan latihan di hari uposatha (Vism.15). Kita akan pahami lebih lanjut ketiga latihan moralitas perumahtangga ini.
Lima latihan merupakan moralitas yang dipraktikkan dengan perhatian-penuh secara tetap. Lima latihan ini merupakan latihan utama dalam keseharian dan wajib dipraktikkan seumur hidup sebagai ciri perilaku umat Buddha perumahtangga, yaitu lima moralitas; (1) menghindari pembunuhan makhluk hidup, (2) menghindari pencurian, (3) menghindari perilaku seksual yang salah (4) menghindari ucapan salah, (5) menghindari minuman yang memabukkan (A.iv.220).
Sepuluh latihan jika mampu. Sepuluh latihan ini merupakan moralitas yang dipraktikkan secara tetap oleh calon biku dan bikuni. Dalam kutipan kalimat diatas dianjurkan untuk dipraktikkan oleh perumahtangga jika mampu, artinya bukan merupakan latihan yang wajib dipraktikkan. Sebenarnya jika menelisik ke zaman Buddha, praktik ini merupakan anjuran untuk meneladani Ghatīkāra, pembuat kendi (M.ii.45-54). Sepuluh latihan ini terdiri dari (1) menghindari pembunuhan makhluk hidup, (2) menghindari pencurian, (3) menghindari hubungan seksual apa pun, (4) menghindari ucapan salah, (5) menghindari minuman yang memabukkan, (6) menghindari makan pada waktu yang tidak tepat, (7) menghindari tarian, nyanyian, musik, dan pertunjukan yang tidak pantas, (8) menghindari penggunaan perhisaan, kosmetik, dan wewangian, (9) menghindari penggunaan tempat duduk dan tidur yang tinggi dan mewah, (10) menghindari menerimaan emas dan perak.
Delapan latihan di hari uposatha, dalam kalimat ini di atas tidak dikatakan “tetap” atau “jika mampu”, tetapi dikatakan “di hari uposatha”. Mengapa demikian? Kita harus pahami terlebih dahulu kata “uposatha”, kata ini memiliki lima makna[1] yaitu:
1. Pembacaan pātimokkha.
2. Nama yang baik bagi manusia atau binatang.
3. Praktik.
4. Moralitas yang harus dipraktikkan.
5. Hari untuk mempraktikkan moralitas.
Dari kelima kalimat di atas, makna pertama hanya berlaku untuk mereka yang meninggalkan kehidupan berumahtangga, makna kedua, digunakan untuk nama seperti pangeran Uposatha atau gajah Uposatha, keduanya tidak memiliki hubungan dengan moralitas perumahtangga. Sedangkan tiga makna kalimat terakhir diturunkan dari bahasa Pāḷi “upavāsa” artinya mempraktikkan pengendalian diri di hari uposatha dengan menjalankan delapan latihan moralitas, tentu inilah upaya sebagai pelaksanaan puasa. Makna ketiga, tindakan mempraktikkan moralitas, keempat, moralitas yang harus dipraktikkan, kelima, hari mempraktikkan moralitas.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka uposatha adalah hari khusus untuk mempraktikkan delapan latihan sebagai moralitas. Hal ini ditegaskan dalam percakapan Buddha dan upāsaka Dhammika:[2]
Dengan taat sejak pagi menjalankan hari uposatha di hari kedelapan, keempat belas, kelima belas,[3] dan hari khusus tambahan dengan pikiran tenang, sehat jasmani, serta terberkati delapan kualitas.
Tekad pada hari uposatha sebagai praktik puasa yang terberkati delapan kualitas di renungkan, sebagai berikut:[4]
1. Aku hari ini, selama siang hingga malam, menghindari dan meninggalkan pembunuhan. Membuang tongkat dan pisau, hidup sederhana, baik, penuh simpatik dan penuh welas-asih kepada semua makhluk.
2. Aku hari ini, selama siang hingga malam, menghindari dan meninggalkan pencurian. Mengambil dan mengharap hanya yang diberikan serta hidup dalam kemurnian diri.
3. Aku hari ini, selama siang hingga malam, menghindari dan meninggalkan kehidupan tidak selibat. Menjauhi kehidupan tidak selibat dan hubungan seksual apa pun.
4. Aku hari ini, selama siang hingga malam, menghindari dan meninggalkan ucapan salah. Mengucapkan kebenaran, setia pada kebenaran, dapat diandalkan, dapat dipercaya dan bukan penipu dunia.
5. Aku hari ini, selama siang hingga malam, menghindari dan meninggalkan minuman yang memabukkan.
6. Aku hari ini, selama siang hingga malam, makan sehari sekali. Menghindari makan malam atau makan pada waktu yang tidak sesuai.
7. Aku hari ini, selama siang hingga malam, menghindari dan meninggalkan tarian, nyanyian, musik, pertunjukan yang tidak pantas, perhiasan, kosmetik, dan wewangian.
8. Aku hari ini, selama siang hingga malam, menghindari dan meninggalkan tempat tidur yang tinggi dan besar. Tidur di tempat yang rendah dan kecil.
Inilah cara mengikuti hidup seoarang Arahant[5] dalam melaksanakan hari uposatha sebagai praktik puasa yang terberkati delapan kualitas, memiliki pahala dan manfaat besar serta cahaya cemerlang menyebar luas. Sehingga jelas, bahwa dari ketiga latihan moralitas perumahtangga, latihan di hari uposatha adalah hari untuk mempraktikkan delapan latihan moralitas yang merupakan hari puasa bagi umat Buddha.
Tiga Jenis Hari Uposatha
Berdasarkan pejelasan di atas, bahwa uposatha adalah hari mempraktikan delapan latihan moralitas. Dalam hal ini, terdapat tiga jenis uposatha[6] sebagai cara penghitungan waktu untuk mempraktikkan delapan latihan moralitas, yakni uposatha biasa,[7] uposatha sebelum sesudah,[8] dan uposatha tambahan.[9] Klasifikasi ini berdasarkan kutipan dalam Khotbah Empat Raja Besar,[10] di mana Buddha mengulangi ucapan dewa Sakka:
“Para biku, ketika Sakka, raja para dewa sedang membimbing para dewa Tāvatiṁsa, ia mengucapkan syair berikut ini: ‘Manusia siapa pun yang ingin sepertiku harus mempraktikkan uposatha pada hari kedelapan, keempat belas, kelima belas dalam dua minggu[11] dan hari ‘tambahan’[12] yang terberkati delapan kualitas’”.
1. Uposatha Biasa
Kita akan bahas lebih mendetail ucapan Buddha yang mengulangi kalimat Empat Raja Dewa. Pada kutipan kalimat di atas terdapat kalimat “hari kedelapan, keempat belas, dan kelima belas, dalam dua minggu”, yang merupakan hari uposatha biasa, menurut penghitungan bulan dalam dua minggu,[13] jadi ada enam hari uposatha biasa dalam satu bulan.
Namun terdapat juga penghitungan yang berbeda, bahwa pada dua minggu pertama, dalam satu bulan memiliki empat hari uposatha,[14] yaitu hari kelima, kedelapan, keempat belas, dan kelima belas. Demikian dengan dua minggu berikutnya, jadi ada delapan hari uposatha dalam satu bulan, ini juga merupakan hari uposatha biasa yang dipraktikkan perumahtangga. Tetapi saat ini banyak perumahtangga yang hanya mempraktikkan empat hari uposatha dalam satu bulan,[15] yaitu hari kedelapan dan kelima belas di bulan terang dalam dua minggu pertama serta hari kedelapan dan ke lima belas di bulan gelap dalam dua minggu kedua, bahkan hanya dua kali dalam sebulan, yakni hari kelima belas di bulan terang dan hari kelima belas di bulan gelap. Meski demikian, ini juga menjadi hari uposatha biasa.
2. Uposatha Sebelum Sesudah
Berikutnya uposatha “sebelum sesudah” yaitu paṭijāgara berasal dari dua kata “paṭi” dan “jāgara”. Paṭi artinya berulang dan jāgara artinya bangun. Jadi paṭijāgara artinya bangun berulang-ulang. Ini berkaitan dengan cara menghitung harinya,[16] yaitu sebelum dan sesudah. Jadi hari uposatha kelima didahului hari keempat dan diikuti hari keenam; hari uposatha kedelapan didahului hari ketujuh dan ikuti hari kesembilan; hari uposatha keempat belas didahului hari ketiga belas, untuk kasus ini tidak ada hari yang mengikuti; hari uposatha kelima belas saat purnama tidak didahului oleh hari sebelumnya, tetapi diikuti hari pertama minggu kedua.
Dengan demikian hari uposatha sebelum sesudah memiliki sepuluh hari pada dua minggu pertama dan sepuluh hari pada minggu kedua, yaitu secara berturut-turut hari keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, ketiga belas, keempat belas, kelima belas purnama, dan hari pertama minggu kedua. Demikian juga, penghitungan di minggu kedua berikutnya. Sehingga seluruhnya berjumlah dua puluh hari, delapan hari uposatha “biasa” dan dua belas hari uposatha “sebelum sesudah” dalam sebulan.
3. Uposatha Tambahan
Uposatha tambahan, memerlukan usaha yang lebih dibandingkan dengan hari uposatha biasa karena tidak memiliki hari perantara dalam minggu pertama dan minggu kedua, tetapi dipraktikkan secara terus-menerus setiap hari.
Hari uposatha tambahan dapat dilakukan pada saat tiga bulan musim penghujan,[17] tanpa terputus. Apabila tidak mampu mempraktikkan selama tiga bulan di musim penghujan dapat mempraktikkannya selama satu bulan di mulai pada purnama memasuki bulan terakhir. Jika tidak mampu mempraktikkan selama satu bulan, maka dapat mempraktikkan selama lima belas hari, dimulai dari bulan gelap memasuki bulan terakhir. Bahkan dipraktikkan juga selama lima bulan, ditambah dua beluan setelah puranama akhir retret musim penghujan. Selain pada tiga bulan atau lima bulan di musim penghujan, dapat juga dilakukan dihari-hari lain yang ditetapkan sebagai hari uposatha dengan mengukuti budaya spiritual kearifan lokal. Seperti puasa satu bulan menyambut waisak atau menyambut tahun baru.
Memahami tiga cara penghitungan hari uposatha di atas, maka perbedaan penghitungan hari uposatha harus dipahami dengan benar, bahwa Buddha sebelumnya tidak pernah menetapkan hari tertentu sebagai hari uposatha. Penghitungan seperti hari uposatha biasa hanya mengulangi ucapan dewa Saka, seperti yang Beliau sampaikan dalam Khotbah Empat Raja Besar. Demikian halnya dengan pengelompokan hari uposatha seperti hari uposatha biasa, uposatha sesudah sebelum, dan uposatha tambahan merupakan kebiasaan masyarakat Buddha pada waktu itu di India. Jadi pada hari apa pun kita dapat mempraktikkan uposatha yang diberkahi delapan kualitas.
Mengapa Buddha mengajarkan dengan cara demikian? Karena agar manusia tidak melanggar kebiasaan atau budaya baik di masyarakat. Tujuan utama Buddha hanya mengajarkan realita mengenai batin dan jasmani[18] yang akan membantu dalam mencapai nirwana.
Cara Mempraktikkan Puasa Buddhis
Praktik puasa buddhis dengan menjalankan delapan latihan moralitas di hari uposatha sebagaimana penghitunggan hari uposatha yang telah dijelaskan di atas harus dipahami dengan baik. Umumnya masyarakat buddhis memahami bahwa “mempraktikan puasa di hari uposatha harus mengambil tekad latihan moralitas dihadapan biku atau bikuni sebagai perwakilan Sangha,” pemahaman lainnya, bahwa “uposatha harus dilakukan dengan delapan latihan, jika tidak, maka tidak boleh dilakukan.” Jika demikian, bagaimana dengan mereka yang jauh dan sulit bertemu dengan biku atau bikuni? Bagaimana dengan mereka yang mengalami sakit dan harus makan setelah tengah hari? Bagaimana dengan mereka yang dituntut secara profesi di dunia kerja untuk menggunakan kosmetik? Bagaimana juga mereka yang berprofesi sebagai guru tari dan musik? Apakah tidak boleh menjalankan uposatha? Tentu banyak lagi persoalan hambatan dalam mempraktikkan uposatha, namun jika mengingat welas-asih Buddha tentu akan ada cara bagi mereka yang memiliki hambatan-hambatan seperti di atas untuk mempraktikan puasa di hari uposatha.
Kita akan coba untuk cermati dan membahas dengan baik dua pemahaman di atas, agar mempermudah setiap orang melakukan puasa di hari uposatha dengan tahapan kemampuannya. Pemahaman pertama, benarkah bahwa “mempraktikan puasa di hari uposatha harus mengambil tekad latihan moralitas dihadapan biku atau bikuni sebagai perwakilan Sangha.” Dalam mengambil tekad puasa di hari uposatha sangat baik jika disaksikan dan dibimbing oleh biku atau bikuni sebagai perwakilan Sangha, ini akan menambah kekokohan batin dalam melaksanakan puasa, maka jika ada biku atau bikuni kita dapat memohon bimbingan untuk pengambilan tekad latihan. Namun, kita pahami bahwa tidak semua orang dapat bertemu dengan biku atau bikuni, sehingga agar setiap orang tetap dapat melakukan kebajikan puasa di hari uposatha, maka ia dapat mengambil tekad sendiri tanpa harus disaksikan oleh biku atau bikuni.
Apakah tindakan demikian diperkenankan, tentu diperkenankan. Alasannya, bahwa kebajikan itu bukan diberikan atau diterima dari seorang guru, namun ini berkaitan dengan kehendak baik seseorang dalam melakukan perbuatan. Demikian halnya kebajikan dalam perlindungan atau moralitas uposatha, bukan diberi atau diterima dari seorang guru karena guru dalam hal ini hanya memberikan bimbingan, menjadi kebajikan atau tidak sangat tergatung pada individu yang menerima bimbingan, apakah mau mempraktikan uposatha atau tidak. Dengan alasan ini, maka tekad uposatha dapat dilakukan tanpa harus dihadapan biku atau bikuni.
Menjadi jelas, bahwa mengambil tekad uposatha tidak harus dihadapan biku atau bikuni sebagai perwakilan Sangha. Lalu, bagaimana caranya? Baik kita pahami hal ini lebih mendalam lagi. Pertama, tentu kita harus memahami mengenai uposatha dan delapan latihan moralitas dengan baik, kedua pastikan bahwa batin kita penuh keyakinan dan tubuh dalam keadaan bersih, ketiga dengan duduk berlutut dan tangan merangkap di depan dada tekadkan dalam batin bahwa “ini hari uposathaku, aku bertekad mempraktikkan puasa dengan menjalankan delapan moralitas sebagai latihan”. Lalu, ucapkan delapan moralitas secara berurutan, sangat baik tentu jika di depan cetya Buddha, di bawah pohon Bodhi, atau di depan stupa. Demikian sebaliknya, jika Anda telah selesai mempraktikkan uposatha, Anda kembali mengambil tekad lima latihan moralitas “sejak hari ini, saya mempraktikkan lima latihan moralitas”. Lalu, ucapkan lima latihan moralitas secara berurutan.
Sekarang kita pahami pernyataan kedua, “uposatha harus dilakukan dengan delapan latihan, jika tidak maka tidak boleh dilakukan.” Semestinya, bahwa uposatha harus dilakukan dengan mempraktikkan delapan latihan moralitas, ini jelas sebagaimana yang disampaikan Buddha kepada upasika Visakha.[19] Namun bagaimana dengan mereka yang memiliki berbagai hambatan, apakah tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas bajik agar ia memiliki kemudahan dalam hidupnya, tentu tidak demikian.
Di zaman Buddha ada latihan yang dinamanakan lima latihan moralitas dengan hidup selibat “brahmacariya pañcama sῑla”,[20] latihan ini dipraktikkan oleh perumahtangga. Ini praktik lima latihan hanya saja latihan ketiga dalam lima latihan, yakni menghindari perilaku seksual yang salah diganti dengan menghindari hubungan seksual apa pun atau ia mempraktikkan hidup selibat.
Pada masa Buddha Kassapa latihan ini dipraktikkan oleh upasaka Gavesi (A.iii.215-18). Di masa Buddha Gotama latihan ini dipraktikkan oleh upasaka Ugga seorang bankir dari Vesali dan Ugga seorang bankir dari Hatthigama, negeri Vajji (A.iv.209-16), kedua Ugga mendapat bimbingan langsung dari Buddha Gotama. Jika kita perhatikan latihan ini, latihan uposatha dapat dilakukan hanya dengan menjalankan lima latihan dengan hidup selibat dan meninggalkan latihan keenam, ketujuh dan kedelapan dalam delapan latihan moralitas. Maka jika kita ingin mempraktikkan latihan ini, lakukan tekad “ini hari uposathaku, aku bertekad mempraktikkan puasa dengan menjalankan lima latihan dan hidup selibat” atau dengan mengucapkan lima latihan secara berurutan.
Kembali menjawab pernyataan di atas, masih di masa Buddha Gotama, juga terdapat praktik lima latihan moralitas dengan hidup selibat dan makan hanya sekali dalam sehari pada pagi hari “brahmacariya pañcama ekabhattika sila”,[21] praktik ini dilakukan oleh upasaka Dhammika dan upasaka Nandamata. Jika kita ingin mempraktikkan latihan ini, maka melakukan tekad “ini hari uposathaku, aku bertekat mempraktikkan puasa dengan menjalankan lima latihan dan hidup selibat serta tidak makan setelah tengah hari” atau dengan mengucapkan enam latihan secara berurutan.
Dua contoh kasus di atas memberikan jawaban bahwa dalam mempraktikkan uposatha ketika kita memiliki hambatan berkaitan dengan latihan keenam, ketujuh, dan kedelapan, maka dapat menjalankan lima latihan dengan hidup selibat sebagai ciri uposatha, atau menjalankan lima latihan moralitas dengan hidup selimat dengan makan sekali dalam sehari dalam arti, menghindari makan pada waktu yang tidak tepat. Maka dengan hambatan-hambatan yang disampaikan di atas tidak ada alasan bagi umat Buddha untuk tidak melaksanakan uposatha sebagai praktik puasa buddhis dalam upaya meningkatkan kualitas bajik dalam kehidupan.
Menjaga Batin Di Saat Puasa
Tiga Pola Hidup Sehat Secara Holistik
Puasa menjadi salah satu pilihan hidup untuk terapi, baik batin atau badan, karena puasa berkaitan dengan pengendalian diri terhadap kesenangan kenikmatan indria, dan juga keteraturan serta kedisiplinan dalam menjalani aktifitas kehidupan. Penyembuhan di dunia medis, sebagai contoh ketika kita sedang mengalami sakit dan dirawat inap di rumah sakit. Perhatikan perlakuan dokter dan pihak rumah sakit, untuk membantu dalam proses penyembuhan, pertama pihak rumah sakit akan memberikan pandangan mengenai bahaya sakit yang kita alami dan manfaat perawatan yang akan diberikan, kedua pihak rumah sakit akan mengodisikan pola hidup teratur dan disiplin, baik dalam istirahat, aktifitas, dan bahkan makan, ketiga pihak rumah sakit akan mengatur pola menu makan sesuai dengan kebutuhan tubuh untuk mendapatkan asupan gizi agar proses penyembuhan cepat berlangsung.
Perhatikan dari ketiga hal yang diberlakukan rumah sakit kepada kita sebagai pasien adalah bentuk aktifitas praktik puasa, yakni pengendalian dan keteraturan serta kedisiplinan hidup. Demikian dengan puasa buddhis yang dilakukan, saya sangat menganjurkan agar puasa menjadi bentuk terapi bajik untuk batin dan tubuh, maka harus memperhatikan tiga hal, yakni pola pandang, pola hidup, dan pola makan. Mari kita bahas satu persatu ketiga pola ini agar puasa menjadi pola hidup sehat secara hoslistik.
1. Pola Pandang
Keberhasilan dalam mempraktikkan puasa sangat bergantung pada pola pandang, bahwa puasa bukanlah bentuk pengekangan atau penyiksaan diri, namun pengendalian diri dan hidup dengan perhatian-penuh, sebagai diet moral yang akan memberikan manfaat bajik untuk batin dan tubuh. Sehingga puasa bukan hanya soal pengendalian makan saja, namun pengendalian keseluruhan aktifitas hidup. Maka memahami dengan baik motivasi dan tujuan menjadi sangat penting agar menjadi dasar pola pandang dalam melakukan puasa.
2. Pola Hidup
Berikutnya adalah pola hidup dalam mempraktikkan puasa, ini sangat bergantung pada tiga hal, yakni keteraturan, kedisiplinan, dan hidup berdasarkan kebutuhan bukan keinginan sebagai bentuk impelentasi sederhana dari kebenaran mulia kedua, sebab duka; keinginan. Tanpa adanya ketiga hal ini seseorang hanya melakukan puasa secara formalitas saja. Inilah pola hidup puasa buddhis yang harus dilakukan, untuk dapat melakukan hidup secara teratur seseorang harus memiliki motivasi dan tujuan puasa yang baik serta membuat jadwal aktifitas latihan yang teratur, kemudian menjalani dengan penuh disiplin sebagai komitmen dan tekad melakukan puasa.
Pola hidup berikutnya adalah hidup berdasarkan kebutuhan bukan keinginan. Dalam hal ini, kita mulai memberlakukan hidup sederhana, memenuhi segala kebutuhan aktifitas hidup berdasarkan kebutuhan bukan keinginan. Maka kita harus benar-benar memilah dan memilih dengan baik antara kebutuhan atau keinginan. Sehingga puasa buddhis menjadi cara latihan untuk hidup sederhana upaya meneladani cara hidup Buddha.
3. Pola Makan
Pola makan menjadi bagian aktifitas hidup sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka pola makan juga harus berdasarkan kebutuhan bukan keinginan. Dalam hal ini, berkaitan dengan pola makan harus berdasarkan dua hal, yakni kebutuhan berdasarkan kronologis dan kebutuhan berdasarkan biologis.
Kebutuhan berdasarkan kronologis, artinya memenuhi kebutuhan makan dan minum berdasarkan faktor usia. Misalkan, usia memasuki 30 tahun harus mulai mengurangi makanan dan minuman berlemak, berminyak, berwarna, berasa seperti soda, manis dan sebagainya. Demikian dengan rentan usia tertentu, memiliki kebutuhan makanan dan minuman yang berbeda.
Sekarang kebutuhan berdasarkan biologis, artinya memenuhi kebutuhan makan dan minum berdasarkan keadaan tubuh. Meski usia sama, namun setiap orang memiliki kondisi kesahatan dan keadaan tubuh yang berbeda, sehingga memerlukan asupan makanan dan minuman yang berbeda untuk tubuhnya. Lebih lanjut, kebutuhan berdasarkan kronologis dan kebutuhan berdasarkan biologis dapat dikonsultasikan dengan dokter berdasarkan kondisi masing-masing.
Pola makan selain berdasarkan dua hal di atas, ada hal yang juga penting harus dipahami, yakni bahwa makan bukan kewajiban tetapi kebutuhan. Karena makan adalah kebutuhan maka perhatikan ketika makan dan minum:
1. Sisihkan Waktu Untuk Makan
Menyisihkan waktu untuk makan adalah kebutuhan, jangan sisahkan waktu.
Mengapa? Karena saya yakin tidak ada waktu sisah untuk makan selain untuk
bekerja, ketika makan bukan menjadi kebutuhan. Alih-alih dapat makan dengan
tenang, namun justru makan dengan terburu-buru dan terus terikat dengan
aktifitas handphone, pekerjaan, dan lain sebagainnya, inilah jika tidak
menysisihkan waktu dan makan tidak menjadi kebutuhan. Sehingga pastikan,
sisihkan waktu minimal 15 menit untuk makan tanpa terganggu oleh aktifitas apa
pun.
2. Makan Dengan Teratur
Keteraturan dan kedisiplinan dalam hal makan akan sangat mengurangi tingkat kesetresan lambung dan pencernaan, mengingat bahwa batin dan tubuh ini bekerja secara alami. Sebagai contoh, ketika kita terbiasa makan pagi hari pukul 07:00, maka di saat pukul 07:00 batin akan teringat makanan, atau tempat makan dan perut akan memberikan reaksi untuk bekerja.
Ketika kita makan dengan tidak teratur, maka lambung dan pencernaan kita akan setres karena bekerja tidak pada waktu yang semestinya, sehingga akan mengalami banyak gangguan pada lambung dan pencernaan.
3. Makanlah Apa Yang Dibutuhkan
Mulailah makan dari apa yang dibutuhkan oleh tubuh, bukan apa yang diinginkan, ini dilakukan baik secara kronologi atau pun secara biologis. Selain untuk kesehatan tubuh, ini juga bentuk latihan moralitas, yakni pengendalian keinginan melalui mata dan lidah sebagai indria bentuk dan perasa.
Disaat melakukann aktifitas makan, disana keinginan muncul karena dorongan perasaan senang atau tidak senang melalui mata dan lindah. Disinilah diperlukan perhatian-penuh agar kesadaran hadir pada momentu saat ini, sehingga membantu mengamati dengan objektif adanya kesenangan atau ketidakkesenangan muncul terhadap makanan atau minuman dengan demikian kita dapat kembali sadar untuk makan karena kebutuhan bukan karena keinginan suka atau tidak suka.
4. Makanlah Dengan Tenang
Dalam praktik puasa semua aktifitas dilakukan dengan perhatian-penuh, sehingga batin dapat terkondisi tenang. Demikina juga, saat makan atau minum. Ini menjadi aktifitas meditasi perenungan pada aktifitas tubuh (D.ii.292). Maka, ketika makan pastikan hanya makan demikian saat minum hanya minum, tidak aktifitas lain seperti bermain handphone, menonton televisi, atau aktifitas lain yang mengganggu keheningan aktifitas makan.
Makan dengan cara demikan, kita tidak hanya memberi nutrisi pada tubuh, namun pada batin. Karena ada ruang untuk batin istirahat dari kepenatan aktifitas yang ruti. Maka jadikanlah makan sebagai aktifitas spiritual yang menyenangkan.
5. Telan Makanan Dengan Air Liur
Puasa menjadi bagian aktifitas terapi untuk kesehatan, maka sangat baik ketika makan, selain makan dengan tenang kunyahlah makanan hingga lembut. Dalam hal ini, saya tidak menganjurkan mengunyah 32 kali, namun kunyahlah makanan hingga mengeluarkan air liur dan telanlah makanan dengan air liur bukan air minum.
Cara makan ini akan sangat membantu cara kerja lambung dan pencernaan dan air liur sebagai ezim pada mulut akan sangat membantu untuk memberikan nutrisi dan terapi untuk lambung, terlebih anda yang banyak mengalami gangguan pada lambung dan pencernaan. Sehingga puasa akan memberikan kesehatan pada tubuh dan batin bagi mereka yang mempraktikan cara ini dengan baik.
Kebahagiaan batin dan kesehatan tubuh dalam hal makan sangat bergantung dari cara kita makan dan cara mendapatkan makanan. Maka rubahlah cara kita makan dan cara mendapatkan makanan jika ingin bahagia dalam hal makan.
Manfaat Puasa Buddhis
Puasa buddhis yang dilakukan dengan benar akan menjadi pola terapi yang sangat bagus, sehingga memberikan manfaat untuk ketenangan batin dan kesehatan tubuh, lebih jauh kebajikan kebahagiaan kehidupan sekarang dan mendatang. Saya akan membagi menfaat puasa buddhis dari dua sisi,yakni kebajikan batin dan kesehatan tubuh.
1. Manfaat Kebajikan Dari Puasa
Puasa sebagai pola hidup latihan moralitas memiliki mantafaat untuk kehidupan sekarang dan mendatang, sebagaimana Buddha sampaikan bahwa ada lima manfaat dalam praktik moralitas (D.ii.85):
a. Memiliki kemudahan mendapatkan rejeki dengan benar
b. Memiliki nama baik
c. Batin tenang, tidak diliputi penyesalan dan kesedihan
d. Meninggal dunia dengan batin yang tenang
e. Setelah meninggal dunia, terlahir di alam bahagia.
Secara khusus praktik puasa dihari uposatha dengan menjalankan delapan latihan moralitas dapat mengondisikan kelahiran kembali ke alam surga Catumahārājika, Tāvatiṁsa, Yāma, Tusita, Nimmanarati, dan Parinimmi-tavasavatti (A.iv.255).
2. Manfaat kesehatan DariPuasa
a. Memperbaiki fungsi otak
Mengendalikan pola makan dan minum dapat memicu pertumbuhan sel saraf baru di otak, sehingga dapat membantu memperbaiki fungsi otak, termasuk melindungi otak dari resiko penyakit Alzheimer dan Parkinson. Puasa yang dilakukan sebulan penuh dapat membentuk jaringan baru di otak sehingga membantu perkembangan tubuh dan batin.
b. Meningkatkan daya tahan tubuh
Berpuasa memicu proses regenerasi system kekebalan tubuh secara menyeluruh pada orang di segala usia, juga memucu sel-sel induk untuk memproduksi sel-sel darah putih baru sehingga berdampak pada meningkatnya daya tahan tubuh untuk melawan infeksi.
c. Meningkatkan hormon bahagia
Puasa merupakan pola hidup pengendalian diri untuk bantin dan tubuh, pengendarian diri ini tubuh akan memproduksi lebih banyak endorphin, yakni hormon yang berperan dalam mengurangi rasa sakit, memucul munculnya perasaan bahagia, tenang, dan damai.
d. Meningkatkan hormon pertumbuhan
Puasa merasangsang peningkatan hormon pertumbuhan (HGH) yang sangat efektif mengatur metabolism, membangun masa otot, membakar lemak, meningkatkan kekuatan otot, dan menurunkan berat badan tanpa kehilangan otot.
e. Mengatasi resistensi insulin
Puasa sangat efektif menjada kadar gula darah dan berat badan pada pengidap diabetes tipe-2. Selain diabetes, terlalu banhyak mengkonsusi karbohidrat dapat membuat tubuh resistensi terhadap insulin. Akibatnya, beresiko terkena penyakit kronis, seperti jantung.
f. Menyehatkan jantung
Puasa dengan teratur akan memiliki resiko penyakit jantung yang rendah. Ini karena puasa secara teratur membuat tubuh beradaptasi sehingga lembak akan dijadikan energi utama bagi tubuh. Dampaknya, kolesterol di dalam tubuh akan berkurang dan mengjurangi resiko penhyakit jantung.
Kami mengajak Anda untuk belajar dan berlatih bersama mempraktikan puasa buddhis di wihara Buddhayana Mojokerto bersama lembagaPendidikan Priyapunati Indonesia yang dibimbing oleh Y.M. Nyanasila, Thera dan para mentor di lembaga Pendidikan Pariyapunati Indoensia. Informasi hubungi sekretariat Lembaga Pendidikan Pariyapunati Indonesia atau bergabung ke Whatshapp Grup Umat Buddha. Yuk! Bergabung dapatkan menfaat menjalankan puasa buddhis bersama kami.
[1] Tipiṭakadhara Miṅgun Sayadaw. 2008. Riwayat Agung Para Buddha ke-tiga. ... Ehipassiko Foundation & Giri Maṅgala Publications; hal.3483.
[2] Dhammika Sutta; Sn.402.
[3] Menurut penghitungan penanggalan bulan lunar.
[4] Visākhūposatha Sutta; A.iv.255.
[5] Mereka yang merealisasi nirwana
[6] Tipiṭakadhara Miṅgun Sayadaw, 2008. Riwayat Agung Para Buddha ke-tiga. ... Ehipassiko Foundation & Giri Maṅgala Publications; hal. 3489-3495.
[7] Pakati uposatha.
[8] paṭijāgara
[9] Patihariya uposatha
[10] Catumāhārajikā-sutta; A.i.142.
[11] Cātuddasiṁ pancaddasiṁ, ... yā ca pakkhassa aṭṭhamiṁ, ini di sebut hari uposatha biasa “pakati uposatha".
[12] Pātihāriya pakkhañca, ...
[13] Sering disebut paruh bulan terang dan paruh bulan gelap. Penghitungan hari dalam kalender buddhis per lima belas hari atau dua minggu, bukan per tiga puluh hari:
59 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15; 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15.
[14] 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15; 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15.
[15] 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15; 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15.
[16] 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15; 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15; 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15.
[17] Musim penghujan diawali dari satu hari setelah purnama di bulan Āsāḷha (purnama di bulan Juli-Agustus) sampai dengan purnama di bulan kattika.
[18] Nāma Rūpa Paramattha Dhamma.
[19] Visākhūposatha Sutta; A.iv.255.
[20] Tipiṭakadhara Miṅgun Sayadaw, 2008. Riwayat Agung Para Buddha ke-tiga. ... Ehipassiko Foundation & Giri Maṅgala Publications; hal. 3481.
[21] Tipiṭakadhara Miṅgun Sayadaw, 2008. Riwayat Agung Para Buddha ke-tiga. ... Ehipassiko Foundation & Giri Maṅgala Publications; hal. 3482.
Penjelasan Dhamma yang sangat baik dan mencerahkan. Sothi hotu
BalasHapusTerima kasih. Mari saya ajak untuk ikut mulai berlatih puasa menyambut Waisak. Kami tunggu, ya. Silakan mendaftar ke sekretariat http://bit.ly/INFORMASIKESEKRETARIAT
BalasHapus