SATU ABAD MAHABIKSU ASHIN JINARAKKHITA
Oleh: Nyanasila
Senin, 23 Januari 2023 merupakan hari satu abad kelahiran pelopor kebangkitan agama Buddha Indonesia, yakni Y.A. M.N.S. Ashin Jinarakkhita. Mendiang dikenal sebagai Pelopor Kebangkitan Agama Buddha Indonesia karena melalui semangat Buddhayana (Ajara Buddha Asali) menghadirkan agama Buddha yang kontekstual dengan kearifan budaya dan spiritual Indonesia.
Semangat yang dilandasi nilai-nilai nonsektarian, inklusivisme, pluralisme, dan universalisme menghadirkan agama Buddha yang kontekstual, sehingga agama Buddha diterima sebagai agama yang diakui negara.
Dimana akibat pemberontakan PKI pada tahun 1965, menyatakan menolak dan melarang pengembangan semua paham berbau komunisme atau atheisme. Akibatnya, pemerintah waktu itu merasa ragu untuk menjadikan Agama Buddha sebagai agama resmi. Y.A. M.N.S. Jinarakkhita mengusulkan nama Sanghyang Adi Buddha Buddha sebagai nama dari tuhan dalam ajaran Agama Buddha.
Beliau mencari sumber untuk mengonfirmasi Tuhan versi Buddhisme unik milik Indonesia ini dari kitab-kitab berbahasa Jawa kuno, dan bahkan dari bentuk Candi Borobudur di Jawa Tengah. Hal ini kemudian disampaikan kepada Menteri Agama dan akhirnya pemerintah menerima Agama Buddha sebagai agama yang diakui negara pada tahun 1978, sebagaimana tercantum dalam GBHN tahun 1978, Kepres R.I No. 30 Tahun 1978, serta Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/1978 (18 November 1978).
Selain diakuinya agama Buddha oleh negara Indonesia, sehingga saat ini semua aktifitas umat Buddha di Indonesia memiliki ruang yang sama dengan agama lain yang ada di Indonesia, mari kita lihat lagi sebagian kecil karya mendiang, namun memiliki nilai yang besar untuk agama Buddha di Indonesia.
Waisak Pertama Kali Di Candi Borobudur
“Saudara-saudara, di saat-saat yang membahagiakan ini, kita dapat berkumpul bersama-sama di atas Candi Agung Borobudur. Semoga getaran-getaran detik-detik keramat nantinya akan membawa berkah mulia bagi kita semua”. Kata orang berpakaian putih-putih dan berjenggot.
Hari itu, 22 Mei 1953 pukul 12 tengah hari, bulan Waisaka Purnama, tepat 2497 tahun Buddha mangkat. Candi Agung, satu dari keajaiban dunia, simbol pusaka ajaran Buddha, bernafas kembali. Lebih dari 3000 pasang mata manusia menjadi saksi.
Orang berpakaian putih-putih yang berjenggot bangkit memberi tanda dimulainya renungan luhur detik-detik Waisaka selama 15 menit. Itulah kali pertama suatu perayaan hari suci agama Buddha diperingati secara besar-besaran setelah lima ratus tahun tertidur panjang di bumi Nusantara.
Siapa sebenarnya tokoh berjenggot yang berpakaian putih-putih, dengan rambut digulung ke atas itu?
Ia, bersama-sama tokoh lainnya punya peran penting membangkitkan kembali Agama Buddha di Indonesia setelah lima ratus tahun terkubur di bawah puing-puing keruntuhan Majapahit. Ia adalah Tee Boan An (1923), kelak dikenal sebagai Ashin Jinarakkhita.
Memasuki Kehidupan Monastik
Kemudian Tee Boan An ditahbiskan menjadi Samanera Ti Chen secara Mahayana oleh Maha Biksu Pen Ching. Dan pada tanggal 23 Januari 1954 ditahbiskan sekali lagi secara Therawada, dan sorenya diupasamda menjadi seorang Biku oleh Mahasi Sayadaw dan diberi nama Jinarakkhita dan mendapat gelar Ashin .
Wadah Pandita Pertama Di Indonesia
Perjalanan dimulai Penyebaran agama Buddha semakin berkembang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah upasaka-upasika yang ditahbiskan oleh Biku Ashin sehingga pada hari suci Asadha bulan Juli 1955, beliau membentuk Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) (sekarang Majelis Buddhayana Indonesia) di Vihara Buddha Gaya, Watugong Semarang. PUUI dimaksudkan sebagai wadah upasaka-upasika yang sudah mendalami ajaran Buddha dengan cukup baik dan dapat membantu biku dalam pelayanan umat.
Sima Pertama Setelah Abat Kesepuluh
Pada tanggal 15 Mei 1959, atas undangan biku Ashin Jinarakkhita, hadirlah 14 belas biku dari manca Negara, antara lain : Mahathera Narada dari Srilanka, Mahathera Mahasi Sayadaw dari Myanmar, Mahathera Maha Somroeng dari Thailand, Mahathera Ung Mean dari Kamboja dan Biksu Kimura dari Jepang.
Pada tanggal 17 Mei 1959, Ong Tiang Biauw ditahbiskan menjadi Samanera Jinaputta. Kemudian tanggal 21 Mei 1959 diresmikanlah Sima yang pertama kali didirikan di Indonesia sejak abad ke sepuluh. Pada keesokan harinya Samanera Jinaputta (61 tahun) ditahbiskan menjadi Biku.
Teladan Non Sektarian
Biku Ashin walaupun ditahbiskan di Myanmar menurut tradisi Therawada tetapi dalam mengembangkan ajaran Buddha di Indonesia, beliau tidak pernah mencemooh tradisi lain bahkan ia selalu mengunjungi kelenteng-kelenteng yang mengikuti tradisi Mahayana dan memberikan ceramah di sana. Dan di desa-desa di Jawa ia menggunakan pendekatan sifat kebiasaan dan tradisi masyarakat Jawa dalam memberikan ajarannya.
Ia membawa tradisi Therawada Myanmar tetapi tidak menutup diri dari pluralisme dan pembauran dengan tradisi yang sudah mengakar di negerinya, Indonesia. Ia selalu mendorong umatnya untuk menggali kebiasaan yg telah ada di Indonesia. "Galilah yang lama, sesuaikan dengan zaman dan lingkungan” begitu ujarnya.
Ketuhanan Dalam Agama Buddha Indonesia
Sejak dulu kala, masyarakat Indonesia mengakui adanya “sesuatu” yang agung, yang maha besar. Sesuatu yg umum dikenal dengan istilah Tuhan. Ajaran Buddha sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit mengenal istilah Adi Buddha.
Adi Buddha merupakan konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha yang berkembang di Indonesia di zaman itu. Ia mendorong umatnya yang cendikia untuk menggali kembali pelajaran itu, dengan mengacu pada Candi Borobudur yang merupakan kristalisasi ajaran Buddha yang diwujudkan dalam simbol-simbol dalam monumen itu. Salah satu hasil penggalian dan penelitian terhadap naskah-naskah kuno, akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia.
Kontekstualisasi Ajaran Buddha
Biku Ashin dalam menyebarkan ajaran Buddha di Indonesia menggunakan pendekatan luwes. Ajaran Therawada ia sebarkan, ajaran Mahayana tidak ditinggalkan. Pada akhirnya yang menentukan adalah umat sendiri, lebih cocok dengan pendekatan yang mana, Therawada atau Mahayana.
Penekanan utama yang selalu diingatkannya sejak semula adalah para umat tidak menjadi fanatik pada satu pendekatan, dengan menganggap pendekatan lain salah atau sesat. Pendekatan seperti ini, belakangan di Barat dikenal sebagai Buddhayana atau Ekayana.
Biku Ashin selalu mengingatkan bahwa dalam upaya pengembangan Agama Buddha tidak dapat lepas atau berdiri sendiri serta terpisah dari upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan bangsa Indonesia sebagai satu keseluruhan.
Berulang kali kita diingatkan :
“Sebagai orang yg lahir dan dibesarkan di Indonesia, tentunya kita juga mengemban tugas membantu evolusi bangsa Indonesia. Karena kita terjun di bidang rohani, maka peran kita adalah membantu evolusi batiniah bangsa ini ke taraf yg lebih tinggi. Kita, dalam mengembangkan agama Buddha di Indonesia, tidak hanya mengembangkan agamanya saja, melainkan juga berupaya agar bagaimana bisa membantu evolusi rohani bangsa kita. Sehingga nantinya, kelahiran-kelahiran yang ada di sini, kualitasnya semakin lama semakin baik. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak hanya menjadi semakin berkualitas di bidang fisik saja melainkan juga di bidang rohani”.
Bentuk Keuniversalime
Pada tahun 1976, Dalai Lama berkunjung ke Indonesia dan sempat bertemu dengan biku Ashin. Mereka bercakap-cakap dengan akrabnya. Dalai Lama bertanya pada biku Ashin, “To what sect of Buddhism do you belong?”. Biku Ashin memberikan jawaban yang sangat mengejutkan Dalai Lama sebagai berikut “I am just a servant of the Buddha”.
Masa-Masa Usia Tua
Menjelang usia senja, hari-hari berikutnya dijalani oleh biku Ashin di Wihara Sakyawanaram, Pacet. Pagi-pagi pukul tiga atau setengah empat, ia sudah keluar dari kamarnya yang kecil, berkeliling kompleks wihara yang terletak di lembah itu, memasang hio dan lilin di banyak tempat.
Hampir setiap hari umat datang mengunjungi beliau. Dengan ramah dan selalu tersenyum, ia menerima umat yang datang bergantian dari pagi hingga sore. Walau tidak setiap hari ia dapat ditemui karena harus memenuhi undangan umat Buddha bahkan sampai ke luar pulau. Biarpun sudah mencapai usia lebih dari tujuh puluh, ia tetap memberikan contoh dan teladan untuk umat Buddha.
Mangkatnya Beliau
Menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 18 April 2002, jasad Biku Ashin Jinarakkhita dalam posisi bermeditasi dipindahkan ke Wihara Ekayana Grha di Jakarta, dan ditempatkan pada sebuah peti pada malam hari itu. Petinya ditempatkan di sana selama 8 hari, dan menerima penghormatan sekitar 40.000 orang termasuk mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden Hamzah Haz, dan para pemimpin agama lain.
Pada tanggal 26 April, peti jenazah meninggalkan Jakarta menuju Bandar Lampung, di mana sekitar 15.000 orang berkumpul untuk memberikan hormat kepadanya, dan pada pagi hari berikutnya, jasadnya dikremasikan.
Satu abad telah berlalu, namun tidak satu tarikan dan hembusan nafas pun, kami berhenti meneruskan cita-cita luhurMu. Terima kasih Guru!
Sumber diikutip dari buku ‘Menabur Benih Dharma di Nusantara’ – Edij Juangari – Karaniya 1995
Komentar
Posting Komentar